Profil

nama saya wahyu dwiato septiansyah,saya lahir pada tanggal 29 September 1989. biasanya teman - teman memanggil saya tito,karena itu memang nama pangilan saya. saya merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara. bisa dibilang saya adalah anak bontot. kata orang, anak bontot merupakan anak yang selalu dimanja oleh ke-2 orang tuanya. namun, saya tidak menampik itu semua,karena saya sangat merasakan perhatian lebih yang diberikan oleh ke-2 orang tua saya. di saat saya memasuki usia 5 thn, saya didaftarkan di sebuah taman kanak - kanak yang ada di lingkungan sekitar rumah saya yang bernama taman kanak - kanak putra III. setelah itu, saya mulai mengenyam pendidikan TK disana kira - kira selama 1 thn lamanya. menurut teman saya, saya merupakan anak yang bisa dibilang nakal. pada suatu hari, saya bertengkar dengan teman saya di TK tersebut karena dia tidak diajak main dengan teman - teman yang lainnya. lalu dia pun, mendorong saya hingga saya terjatuh. setelah itu, saya pun membalasnya hingga dia menangis. saya juga pernah membuang air besar di celana,lalu saya dikurung oleh ibu guru di dalam dapur. mungkin semua hal itu tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. setelah lulus TK, saya memasuki jenjang sekolah dasar. sekolah dasar yang saya masuki bernama SD 05 pagi yang tepatnya berada di daerah Bendungan Hilir. disana saya mendapaatkan kesenjangan sosial yang saya rasa amat pahit. saya pernah berfikir, mungkin saya salah masuk sekolah. karena disana merupakan sekolah yang bisa dibilang elit. mengapa saya bisa bilang elit, sebagian besar murid - murid yang bersekolah disana merupakan anak - anak yang jedua orang tuanya bisa dibilang mapan. walau begitu, saya tidak pernah minder untuk berkawan dengan mereka seada sebumua. saya pun akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar selama 6 thn. setelah lulus SD, saya melanjutkan sekolah saya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. sekolah itu bernama SLTP Negeri 40 jakarta yang tepatnya berada di Bendungan Hilir.setelah itu, saya melanjutkan sekolah saya ke sebuah SMA negeri yang ada di Jakarta, sekolah itu bernama SMA Negeri 7 Jakarta yang tepatnya berada di daerah Karet Tengsin. setelah lulus SMA, saya merasa bingung untuk menempuh jalan mana yang harus saya ambil. di satu sisi saya ingin kuliah tapi di sisi lain saya juga ingin bekerja. akhirnya saya mengikuti perintah orang tua saya untuk kuliah. setelah itu, saya memutuskan untuk menempuh jalur SPMB dan alhamdulillah saya lulus. sebenarnya ada dua pilihan dalam SPMB yang pertama saya memilih manajemen dan pendidikan tata niaga. ternyata saya diterima di prodi pendidikan tata niaga. walau begitu, saya merasa bersyukur bisa kuliah di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. saya pun bisa membuktikan kepada orang tua saya, bahwa saya benar - benar telah berubah. jika ditanya prestasi, sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan ranking. namun, saya pernah memenangkan kejuaraan sepak bola dan saya mendapatkan juara 3.mungkin hanya itu prestasi yang saya raih. harapan saya adalah ingin membahagiakan kedua orang tua saya terlebih dahulu dan saya ingin membuktikan bahwa saya bisa melakukan itu semua. cita - cita saya adalah ingin menjadi warga yang berguna bagi nusa dan bangsa dan saya ingin menjadi anggota legislatif di DPR.

Jumat, 17 April 2009

Fenomena SMA dan SMK di Abad 21

Sebuah tantangan besar bagi pemimpin dan pemikir negeri ini, ketika menghadapi jumlah pengangguran yang semakin bertambah tidak sepadan dengan daya serap lapangan kerja yang ada. Dunia usaha dan industri agak lesu dalam mengembangkan usahanya.

Keterampilan angkatan kerja yang masih kurang memenuhi syarat kerja yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini tentu menambah pusing bagi pemerintah, yang selalu disorot oleh masyarakat dari sektor penyediaan lapangan kerja, bagi angkatan kerja yang siap memasuki usia kerja. Tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan tuntutan Negara yang sedang membangun, dan rindu akan keadilan dan kesejahteraan. Menambah beban pemikiran bagi pemimpin negeri ini.

Dalam tahapan ini, Indonesia masih dalam tahap membangun, yang sedang berupaya keras dan cerdas untuk mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa yang beriman, bertaqwa, cerdas, tangguh, disiplin dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang lebih baik, bersaing dengan dunia luar, serta berjiwa patriotik.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan telah berusaha dengan sekuat tenaga dengan minimnya anggaran pendidikan yang masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, berbagai eksperimen dan riset dilakukan. Dalam catatan Departemen tahun 1970 berkembang pesat tenaga kerja yang sekelas tukang, bukan pemikir. Mengakibatkan negeri ini membutuhkan pemikir bukan tukang, yang pada akhirnya sekolah menengah yang kala itu identik dengan lembaga pencetak tukang kurang dikembangkan, dan sekolah umum seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), yang dianggapnya kurang memberikan masa depan yang lebih baik dibandingkan sekolah menengah pertama kejuruan pun mulai tereleminir menjadi sekolah menengah pertama (SMA)/Umum.

Bahkan hingga sekarang penambahan unit gedung baru SMK hampir tidak pernah terdengar, satu kabupaten paling banyak 2 SMK negeri yang ada, namun dalam kabupaten yang sama bisa berdiri 4 sampai 5 SMA negeri. Bahkan satu kecamatan kadang samapai 2 hingga 4 SMA Negeri. Dampak dari itu semua kini mulai terasa lulusan sekolah umum yang tadinya dianggap dapat lebih memberikan masa depan yang lebih berubah menjadi faktor penambah jumlah pengangguran yang kurang memiliki kemampuan pemikir apalagi Tukang.

Dengan munculnya dikotomi SMK dan SMK (Umum), maka banyak masyarakat diperbagai perguruan tinggipun memberikan kesempatan belajar yang berbeda antara lulusan SMK dan lulusan SMA. Bagi mereka lulusan SMA lebih luas untuk mendapatkan kesempatan belajar di berbagai Fakultas, sedang yang berasal dari SMK mempunyai pilihan yang lebih sempit. Padahal belum pernah ada sebuah tesis yang dapat dipakai sebagai rujukan yang valid, bahwa lulusan SMK mempunyai tingkat pemikiran yang lebih rendah.

Dengan adanya faham bahwa ada tukang dan ada pemikir, tukang berada pada golongan strata pekerja kelas rendahan dan pemikir berada di menara gading yang penuh dengan kehormatan dan kemewahan, namun yang sebenarnya SMA pun akhirnya menghasilkan tukang yang bukan pemikir dan pimikir yang bukan tukang. Tukang dan pemikir merupakan dua bagian yang berbeda, padahal pada kenyataannya seorang pemikir harus dituntut mampu untuk menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan secara riil dan detail mulai dari pekerjaan tukang hingga imaginasi yang selalu berkembang. Tukang pun harus pula mempunyai kreativitas yang tinggi sehingga mampu pula untuk berimagiansi tinggi dalam mengembangkan inovasi kerja yang lebih baik.

Komposisi pendidikan yang tertuang dalam kurikulum pendidikan kita, hasil olahan dari pemikir, yang membuat sebuah perencanaan pendidikan nasional, seakan-akan dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Namun dibalik itu semua sering berbenturan antara hasil pemikiran para ahli di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pelaksana pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Diyakini atau tidak, ini merupakan produk lama yaitu tukang dan pemikir. Pengambil kebijakan sebagai pemikir dan Steak Holder sekolah sebagai tukang.

Sehingga setiap ada perubahan kebijakan pemerintah sekolah seakan dipaksa untuk mengikuti, terlepas dengan siap atau tidaknya sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya program dilaksanakan dengan setengah hati dan setengah kurang sarana dan prasana, hasil didik pun menjadikan siswa sebagai pemimpi di siang bolong. Transfer ilmu dari mengajar ke belajar hanya sebuah patamorgana belaka, ilmu tidak lagi diukur dengan kompetisi yang dikembangkan melainkan angka dalam kertas yang bernama raport atau ijazah menjadi ukuran dan tujuan akhirnya.

Dari itu semua akhirnya tahun 2004 pendidikan diarahkan ke perkembangan life skill, naik di SMA maupun SMK, namun pada tataran kurikulum, hal ini menjadi kamus wajib, tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan sebagai mana harapan. Terbukti dengan amraknya bimbingan belajar, baik dis ekolah maupun lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan. Apa yang dilakukan bimbingan ini hanya berlatih mengerjakan soal dan mengantisipasi soal soal Ujian Nasional yang mungkin akan muncul dalam UN.

Bukan pada pemhaman ilmu dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari,Patokan Nilai Ujian menjadi tujuan akhir dari sebuah pembelajaran. Hal ini berlaku baik di SMK maupun di SMA.

Sangatlah wajar kalau sekarang banyak anggapan bahwa hasil lulusan SMA dan SMK bahkan sarjana sekalipun masih mempunyai mutu akademis yang rendah.

Pola 50% teori dan 50% praktik tidak mampu di jalani oleh sekolah, karena sarana dan prasarana yang menjadi prasarat tercapainya hasil lulusan yang diharapkan, tidak dimiliki oleh sekolah serta padatnya muatan materi pokok yang harus dipelajari siswa, tidak sebanding dengan kemampuan kognitif dasar yang dimiliki oleh siswa pada umumnya sebagai prasarat belajar.

Menurut hemat saya manakala sarana dan prasarana pendidikan dan guru yang profesional sudah mampu disediakan oleh lembaga pendidikan, maka SMK atau SMA tidak lagi menjadi permasalahan seperti sekarang ini. Taksonomi Bloom yang pada hakekatnya pendidikan dititik beratkn pada sikap dan nilai, kecerdasan dan keterampilan. Akan dapat diwujudkan, sehingga permasalahan pengangguran mampu dikurangi, serta mampu lulusan sekolah menengah mampu memenuhi prasyarat kerja, yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri.

Guru yang terbaik adalah pengalaman yang pernah dilakukan. Dan kerugian yang paling besar adalah kesalahan yang terulang. Dengan berpikir demikian harapan kami, pemerintah akan mampu menemukan pola pendidikan yang cocok dan relevan dengan kebutuhan maa mendatang. Tentunya penentu kebijakan negeri ini haruslah Pemikir yang tukang atau Tukang yang pemikir. Bukan lagi pemikir yang bukan tukang sehingga hanya mampu berpikir serta kebijakannya tak dapat dilaksanakan di tingkat sekolah.

Atau sebaliknya kebijakan tukang, yang juga tidak akan mampu menjawab tantangan masa depan, melainkan hanya mampu mereparasi sesaat saja yang pada akhirnya rusak fatal tak mampu lagi diperbaiki.

Harapan kami, sebaliknya penanggungjawab pelaksanaan pendidikan, hanya ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tidak seperti sekarang hampir setiap departemen memiliki lembaga pendidikan sendiri-sendiri dengan standard yang berbeda-beda,s ekalipun dibutuhkan prasyarat tertentu, sebaiknya cukup Pelatihan khusus (spesialis) yang spesifik saja. Agar tidak terjadi pembinaan yang berbeda seperti MTs. Dan SMP atau MA dan SMA, SMK yang rasa-rasanya sangat ebrbeda. Baik dari kesejateraan maupun proses rekietmentnya. Padahal mutu pendidikan yang diharapkan sama.

Pada akhirnya hanya tenaga profesional-lah yang mampu membentuk dan menciptakan sebuah rencana yangs esuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia dan mampu merencanakan sebuah strategi menghadapi perkembangan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar