Profil

nama saya wahyu dwiato septiansyah,saya lahir pada tanggal 29 September 1989. biasanya teman - teman memanggil saya tito,karena itu memang nama pangilan saya. saya merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara. bisa dibilang saya adalah anak bontot. kata orang, anak bontot merupakan anak yang selalu dimanja oleh ke-2 orang tuanya. namun, saya tidak menampik itu semua,karena saya sangat merasakan perhatian lebih yang diberikan oleh ke-2 orang tua saya. di saat saya memasuki usia 5 thn, saya didaftarkan di sebuah taman kanak - kanak yang ada di lingkungan sekitar rumah saya yang bernama taman kanak - kanak putra III. setelah itu, saya mulai mengenyam pendidikan TK disana kira - kira selama 1 thn lamanya. menurut teman saya, saya merupakan anak yang bisa dibilang nakal. pada suatu hari, saya bertengkar dengan teman saya di TK tersebut karena dia tidak diajak main dengan teman - teman yang lainnya. lalu dia pun, mendorong saya hingga saya terjatuh. setelah itu, saya pun membalasnya hingga dia menangis. saya juga pernah membuang air besar di celana,lalu saya dikurung oleh ibu guru di dalam dapur. mungkin semua hal itu tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. setelah lulus TK, saya memasuki jenjang sekolah dasar. sekolah dasar yang saya masuki bernama SD 05 pagi yang tepatnya berada di daerah Bendungan Hilir. disana saya mendapaatkan kesenjangan sosial yang saya rasa amat pahit. saya pernah berfikir, mungkin saya salah masuk sekolah. karena disana merupakan sekolah yang bisa dibilang elit. mengapa saya bisa bilang elit, sebagian besar murid - murid yang bersekolah disana merupakan anak - anak yang jedua orang tuanya bisa dibilang mapan. walau begitu, saya tidak pernah minder untuk berkawan dengan mereka seada sebumua. saya pun akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar selama 6 thn. setelah lulus SD, saya melanjutkan sekolah saya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. sekolah itu bernama SLTP Negeri 40 jakarta yang tepatnya berada di Bendungan Hilir.setelah itu, saya melanjutkan sekolah saya ke sebuah SMA negeri yang ada di Jakarta, sekolah itu bernama SMA Negeri 7 Jakarta yang tepatnya berada di daerah Karet Tengsin. setelah lulus SMA, saya merasa bingung untuk menempuh jalan mana yang harus saya ambil. di satu sisi saya ingin kuliah tapi di sisi lain saya juga ingin bekerja. akhirnya saya mengikuti perintah orang tua saya untuk kuliah. setelah itu, saya memutuskan untuk menempuh jalur SPMB dan alhamdulillah saya lulus. sebenarnya ada dua pilihan dalam SPMB yang pertama saya memilih manajemen dan pendidikan tata niaga. ternyata saya diterima di prodi pendidikan tata niaga. walau begitu, saya merasa bersyukur bisa kuliah di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. saya pun bisa membuktikan kepada orang tua saya, bahwa saya benar - benar telah berubah. jika ditanya prestasi, sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan ranking. namun, saya pernah memenangkan kejuaraan sepak bola dan saya mendapatkan juara 3.mungkin hanya itu prestasi yang saya raih. harapan saya adalah ingin membahagiakan kedua orang tua saya terlebih dahulu dan saya ingin membuktikan bahwa saya bisa melakukan itu semua. cita - cita saya adalah ingin menjadi warga yang berguna bagi nusa dan bangsa dan saya ingin menjadi anggota legislatif di DPR.

Jumat, 17 April 2009

20 Persen Untuk Pendidikan Agama

TENGGARONG – 20 persen dana APBD Kutai Kartanegara tahun 2009 yang dilakokasikan untuk sektor pendidikan berjumlah Rp 600 milyar lebih, ternyata 20 persennya dari jumlah tersebut atau sekitar Rp 30 milyar diharapkan mengalir ke sistem pendidikan berbasis madrasah atau agama. Harapan tersebut dikemukankan dihadapan Penjabat Bupati Kukar H Syahruddin oleh Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) Kukar H Jamaluddin HD saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah (PMPM) se Kukar yang berlangsung di Tenggarong Senin (6/4) kemarin.

enurut Jamaludin HD yang juga selaku Pembina Madrasah di Kukar, menambahkan bahwa alasannya meminta hingga 20 persen untuk pendidikan madrasah karena antara pendidikan umum (SD, SMP dan SMA/SMK) dengan pendidikan berbasis madrasah di Kukar perbandingan 80 : 20. “Kontribusi lembaga pendidikan di bawah pengelolaan Depag terhadap pendidikan umum di daerah ini sebanding dengan 20 persennya,” ujarnya. Dipaparkannya bahwa untuk Sekolah Dasar di Kukar ada 447 buah sedang Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) terdapat 26 unit. Sedang SMP 78 buah dan Madrasah Tsanawiyah 43 unit, SMA/SMK 87 buah sedang Madrasah Aliyah 15 buah.. Dikatakan pula dari jumlah madrasah itu hanya 10 persen yang berstatus negeri sedang sisanya 90 persen dikelola pihak yayasan swasta. Sementara Pj Bupati Kukar Syahruddin mengakui pendidikan agama dan umum tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kedua pendidikan ini harus saling melengkapi karena disatu pihak mempersiapkan peserta didik untuk mengetahui Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sedang pendidikan agama fokus pada pemantapan imtaq atau iman dan takwa. Menurutnya pelajaran agama sangat penting bagi peserta didik agar mereka mampu bersikap jujur, memiliki ahlakul karimah dan kecerdasan spiritual. “Apalah artinya generasi mendatang jika mereka tidak dibekali sikap kejujuran dan ahlakul karimah yang baik,” ujarnya. Karena menurutnya sebagai pemimpim kita harus bertanggung jawab mempersiapkan generasi pemimpin bangsa yang memiliki kecerdasan spiritual.. Sedang kecedasan ini hanya di dapat melalui pendidikan agama. Dia pun sempat menyinggung banyaknya warga miskin di Kukar. Menurutnya banyaknya orang miskin di Kukar bukan karena wilayah ini tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, akan tetapi disebabkan kurangnya kecerdasan spiritual, masih rendahnya ahlakul karimah dan lemahnya rasa kejujuran. “Daerah ini suatu phenomena yang aneh tapi nyata,” demikian ujarnya. Rakor Peningkatan mutu pendidikan Madrasah yang berlangsung sehari ini diikuti Pengawas Pendidikan Agama, para Kepala Sekolah Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah umum se Kukar. Sedang pemateri dari pejabat Kanwil Depag Kaltim, Badan Akreditasi Nasional serta dari Kantor Depag Kukar.(hmp10)

Pendidikan Agama Belum Capai Tujuan

TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengaku pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa), dan psikomotorik (tingkah laku). Padahal, menurut Basyuni pendidikan agama seharusnya diberikan dengan cara yang menyenangkan agar tujuan pendidikan agama lebih mudah tercapai. Basyuni menyebut hal ini dalam acara penyerahan hadiah lomba penulisan naskah sketsa keagamaan dan komik keagamaan di Jakarta Rabu (24/11).

Padahal, kata Basyuni, kejujuran, kesetiakawanan, lapang dada, dan toleransi adalah nilai dan sikap yang seharusnya dihasilkan oleh pendidikan agama. Namun saat ini kata Basyuni, pendidikan agama terlalu berat muatannya pada kesalehan ritual (individu) dan belum menyentuh kepada kesalehan sosial (akhlak) antarsesama.

Maka tidak mengherankan tambah Basyuni, jika sejumlah perilaku menyimpang pelajar seperti tawuran antarpelajar, pemakaian narkoba, juga perilaku indisipliner pelajar lainnya masih banyak dijumpai. Fakta ini menurut Basyuni harus direspon oleh semua pihak secara serius sesuai kapasitas dan kemampuannya masing-masing, termasuk peran serta seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didik.

Menurut Ketua Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama, Atho Mudhar, berdasarkan Hasil Studi Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Tahun 2000 disimpulkan bahwa merosotnya moral dan ahlak peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi.

Juga materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman yang utuh. Disimpulkan pula bahwa metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan, serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan.

Menurut Atho, buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan ketrampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berahlak mulia pada peserta didik.

Tantangan Zaman dan Pendidikan agama

Modernitas zaman yang bergerak dengan langkah angkuh telah meninggalkan jejaknya yang membekas pada kegalauan dan disorientasi. Ketika ruang-ruang makna mulai bergeser pada wacana dan kesadaran yang bersifat praktis, dangkal dan ambivalen, mulailah orang bingung. Tampak wajah muda mulai cemas dihimpit kegalauan, ketika tiada lagi apa yang diacu. Dirinya hanya mampu bersandar pada wajah-wajah entertaining yang hanya menyediakan seklumit kata-kata kesenangan. Ketika pulang pun, mereka hanya bertemu dengan jalan-jalan yang dihiasi toko kelontong besar dan pancaran temaram lampu rave party. Seklumit kecemasan itu telah menusuk kedalam kalbu seorang ibu yang kesehariannya mengajar agama di SMA PIRI, dan tentu saja pada beberapa orang lainnya.
Pertanyaan kecil terkata dari bibirnya, "bagaimana sumbangan pendidikan agama menghadapi kecemasan ini,". Tentu saja, pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Ya, memang banyak cara yang perlu dikembangkan, salah satunya, bagaimana mengenalkan pengalaman hidup di seputar kaum muda untuk mengajak mereka memahami makna yang lebih mendalam. Tantangan zaman ini begitu besar, tidak sepantasnya pendidikan agama yang berorientasi pada nilai moralitas dan imani hanya memberikan dalil-dalil jawaban seperti layaknya ilmu eksakta. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajak kaum muda menemukan secara mandiri hidup mereka dengan persoalan yang tengah dihadapi, dengan pengalaman hidupnya dengan nilai-nilai agama.
Tantangan zaman telah merajut kekuatannya dengan segala media yang ada, dari cyber, televisi dan berbagai rajutan pola yang membentuk cara pandang orang muda. Tentu saja, hal ini juga menjadi tantangan bagi beberapa guru agama yang ada dipinggiran kota, seperti Bantul. Banyak cara yang dicoba diupayakan, tidak hanya di kota besar saja, karena rajutan media yang begitu menggurita telah membentuk cara baru dalam memandang. Memang, modernitas zaman jangan hanya dilihat sebagai yang negatif saja, karena zaman kaum muda tentu saja berbeda juga dengan zamannya para buyut mereka, ya atau para guru agama mereka. Maka, pengaruh modernitas perlulah dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman yang tidak dapat diatasi atau dimanfaatkan.
Tantangan modernitas apakah perlu diselami oleh guru agama zaman sekarang, hingga mereka harus melebur untuk mampu menyapa kaum muda. Itulah secarik pertanyaan yang dilematis. Tentu saja, bukan ngintir tetapi harus mampu "berenang" dalam riakan gelombang itu, hingga dengan jenaka, ada yang nyentil, " wah, guru agama apakah juga ikut mendem dulu agar mampu menyapa kaum muda?". Ya, tentu saja, yang paling penting guru agama harus mampu menyapa secara mendalam setiap pribadi yang unik sifatnya, dan banyak hal alternatif dan kreatifitas yang dapat dibuat.

Pendidikan Agama Sensitif Pluralisme, Demokrasi, dan HAM Pluralisme

Pluralitas agama di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Bahkan, masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kekayaan keragaman ini bila dikelola dengan baik dan posistif, maka akan menjadi modal besar bagi bangsa Indonesia. Namun bisa juga menjadi bencana yang mengandung potensi konflik. Oleh sebab itu, pluralitas agama sebagai kenyataan sosial ini tak jarang menjadi problem.

Mengapa demikian? Sebab, agama di satu sisi dianggap sebagai hak pribadi yang otonom. Namun, di sisi lain dalam kehidupan masyarakat, hak ini memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya (claim of truth) harus diwartakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, pembahasan mengenai pluralisme agama di Indonesia selalu menjadi masalah yang krusial dan selau memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup bangsa. Berbagai upaya untuk mencari titik temu (konvergensi) berbagi nilai-nilai luhur dari beragam agama yang berkembang dalam masyarakat menjadi salah satu faktor determinan bagi integrasi nasional. Terlebih dalam proses pendidikan, seyogyanya siswa didik senantiasa ditumbuhkan pemahaman bahwa hidup dengan keanekaragaman merupakan sunnatullah.

Wujud faktual bangsa Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleran tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang kompak tapi beragam, sehingga kaya akan ide-ide. Dalam suatu masyarakat demokratis, perbedaan pendapat justru merupakan hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang mempunnyai horison yang luas dan kaya. Saling pengertian hanya dapat ditumbuhkan apabila komunikasi antarpenduduk dan antaretnis dapat terwujud dengan bebas dan intens.

Keragaman seperti ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi modal ini juga bisa menjadi bencana karena berpotensi untuk menmimbulkan konflik. Apalagi ditambah dengan adannya klaim setiap agama terhadap kebenaran agamanya (claim of truth) masing-masing membawa dampak dalam hubungan antar agama di Indonesia. Tak heran sepanjang enam tahun terakhir ini kita menyaksikan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas karena keragaman diatas tadi. Sebutlah kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit Kalimantan Timur (2000).

Oleh sebab itu, pendidikan agama harus diarahkan untuk dapat menumbuhkan sikap toleran siswa didik terhadap perbedaan terutama perbedaan agama. Pendidikan pancasila misalnya tidak musti hanya memberikan informasi bahwa bangsa kita adalah majemuk berpulau-pulau, bersuku-suku, beragam etnik, beragam bahasa, beragam budaya, beragam agama, tetapi semestinya lebih ditekankan pada bagimana siswa didik melihat kebhinekaan bangsa Indonesia itu sebagai rahmat yang patut disukuri dengan upaya melestarikannya dengan saling menghargai, menghormati. Semua adalah saudara meskipun berbeda kulit, berbeda suku, berbeda bahasa, berbeda pulau, berbeda agama. Begitu pula dalam pendidikan etika, siswa didik tidak hanya dibekali pengetahuan tentang bagimana saling menghargai, menghormati antar sesama. Perlu ditumbuhkan kesadaran universal bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sama, diciptakan dari asal yang sama, Tuhan tidak membeda-bedakan diantara makhluknya. Yang dinilai oleh Tuhan adalah ketaatannya dan perbuatan baiknya, bukan dari suku mana, atau beragama apa.
Demokrasi

Kebutuhan akan tumbuhnya demokrasi di Indonesia, sudah tak dapat ditawar lagi. Walaupun secara historis term demokrasi berasal dari luar Islam dan ini masih sering diperdebatkan, tapi secara pragmatis konsep ini ternyata tetap relevan untuk diperjuangkan. Pijakan-pijakan demokrasi dapat ditemukan pada ajaran-ajaran al-Qur'an dan praktis historis masa nabi dan al-khulafa' al-Rassyidun. Paling tidak dapat dilihat dalam firman Allah yang mengatakan "wa syaawirhum fi al 'amr" (3:159) (bermusyawaralah dengan mereka dalam menyelesaikan persoalan), atau dalam ayat lain: "wa amruhum syura baynahum" (41:38) (mereka menyelesaikan masalah dengan musyawarah).

Menurut pandangan Jalaluddin Rahmat, demokrasi merupakan konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yakni partisipasi politik, dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak-hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hukum. Konsep demokrasi ini tidak hanya sesuai dengan Islam, tetapi menurutnya juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.

Senada dengan itu, Amin Rais telah menafsirkan syura (musyawarah) dalam al-Qur'an, 3:159 dan 41:38 di atas, sebagai prinsip penolakan terhadap elitisme. Elitisme adalah pandangan yang membenarkan bahwa hanya pemimpin (elit) yang mengetahui bagaiman mengatur dan mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang hanya mengikuti kehendak kaum elit. Menurut Amin, mungkin benar mengatakan bahwa syura dapat disebut demokarasi, tetapi dia secara sengaja menghindari istilah itu dalam konteks politik Islam, karena saat ini istilah demokrasi menjadi konsep yang disalahpahami, dalam pengertian dapat menyebut sistem mereka demokratis.

Konsep syura, dapat berperan sebagai benteng yang kuat untuk menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Dalam konteks demokrasi, partisipasi politik rakyat sangat dihormati sepenuhnya dalam proses penyelenggaraan negara, karena mereka pada hakekatnya adalah pemilik negara; mereka seolah-olah menerima mandat dari Tuhan, sementara para pemimpin hanyalah pelayan rakyat. Prinsip ini juga mengenalkan persyaratan bahwa kekuasaan negara harus dipilih secara bebas oleh rakyat, berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Adapun sistem monarki jelas tidak sesuai dengan Islam, karena sebuah sistem monarki, dimana raja hanya sebuah simbol kekuasan yang sebenarnya tetap berada pada rakyat. Seperti kerajaan Inggris, jelas lebih sesuai dengan Islam daripada sistem monarki kerajaan di Saudi Arabia, misalnya. Sebab, yang pertama kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan yang sebenarnya dipilih oleh rakyat tiap empat puluh tahun sekali. Sementara yang kedua kedaulatan raja dan para bangsawan adalah pewaris negara dan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat.

Mengembangkan sikap demokratis dan membentuk individu yang mempunyai harga diri, berbudaya dan memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang bhineka tersebut perlu didukung oleh suatu sistem pendidikan yang juga mengembangkan sikap demokrasi. Tujuan pendidikan demokrasi adalah mewujudkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, seperti pluralisme dan egalitarianisme. Nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai bukan berada di luar aktivitas pendidikan, tetapi inheren di dalamnya. Dengan demikian institusi pendidikan, keluarga, lingkungan masyarakat secara umum merupakan wadah alamiah perwujudan masyarakat berkeadaban.

Pendidikan demokrasi untuk yang merupakan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat Indonesia yang berkeadaban, pada dasarnya mensyaratkan berbagai hal, antara lain; kebebasan politik, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral, pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda.
HAM

Secara umum, HAM (Hak-hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia. Karenanya tidak ada kekuasaan yang mencabut hak-hak tersebut. Jika seseorang telah berlebihan dalam menjalankan hak-hak yang dimilikinya tentu akan melangkahi hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.

Tidak dibantah, kalau umat umat Islam sering kali mendapat tudingan bahwa tidak menghormati HAM. Pasalnya, sebagian muslim memang tidak sedikit memiliki pemahaman yang bias terhadap HAM ini. Bagi sebagian muslim ini, konsep HAM yang dikembangkan ditenggarai tidak sesuai dengan Islam.

Terlepas dari konsep HAM perspektif Islam sebagaimana telah dirumuskan di Kairo, atau konsep HAM universal yang dibuat oleh PBB, dalam kenyataannya tetap memunculkan kecurigaan kalau HAM belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam masyarakat Islam. Ada beberapa pemahaman mendasar yang perlu dikaji ulang, sebab HAM dalam Islam -seperti yang dinyatakan dalam kompilasi hukum syari'ah- hanya merupakan hak istimewa bagi orang-orang dalam kapasitas hukum penuh. Seseorang dalam kapasitas hukum penuh adalah manusia dewasa, bebas dan muslim. Jadi sebagai akibatnnya non muslim dan budak yang hidup di negara Islam hanya dilindungi secara parsial oleh hukum atau tidak memiliki kapasitas hukum sama sekali.

Dalam masalah kebebasan beragama, juga terdapat perbedaan menyangkut seorang muslim yang murtad (keluar, pindah ke agama lain). Kalu melihat hadist Nabi yang menyatakan barang siapa yang berpindah agama, maka bunuhlah, berarti hukuman mati berlaku bagi si murtad tadi. Ketika wacana ini dihubungkan dengan konteks HAM, setidaknya terdapat dua pendapat mengenai teks ini;

Pertama, yang setuju dengan ketentuan ini seperti yang dikatakan Tahir Azhari. Sebab Islam betul-betul memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memilih Islam atau agama lain. Akan tetapi, jika ia telah memilih Islam dia harus tetap menjadi muslim selama-lamanya, karena hal itu membuktikan bahwa dia tidak mempermainkan Tuhan.

Kedua, seperti yang diwakili oleh Syafii Maarif, berpendapat sebaliknya. Bahwa yang berhak menghukum orang murtad hanyalah Tuhan. Hubungan antar manusia hanya didasarkan atas prinsip saling menghormati, bukan saling meniadakan. Jika tetap menjadi hak setiap orang untuk berpindah agama, selama perpindahan ini didasarkan pada kebebasan berkehendak.

Karena itulah, konsep HAM yang benar-benar genuine dan mampu mengakomodir kepentingan semua pihak jelas harus dikembangkan dalam Islam. Meskipun nantinya akan melahirkan pro dan kontra atau polemik, namun setidaknya dengan maraknya wacana HAM universal ini, dapat memulihkan citra Islam dari tudingan bahwa Islam sangatlah diskriminatif mengenai HAM.

Fungsi pendidikan sensitif HAM adalah bagaimana menumbuhkan sikap dan prilaku siswa didik yang mengakui dan menghormati hak-hak orang lain, taat dan patuh terhadap aturan-aturan dan hukum. Jika pemahaman yang demikian telah tertanam dalam jiwa siswa didik dan mereka dapat mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat, maka institusi pendidikan dapat dianggap telah berhasil.

Pendidikan agama dapat berperan penting dalam menumbuhkan paradigma hidup dalam mewujudkan peradaban baru bagi generasi masa depan.

~ Wallahu a'lam ~

* Alumni MAK '97 Mambaus Sholihin, juga sudah rampung S1 UIN Jakarta th. 2000, sekarang sedang menempuh studi S2 UNJ pada program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Aktif di beberapa forum mahasiswa dan kepemudaan serta NGO.

Wajah Pendidikan Agama Kita

Problematika pendidikan agama secara umum di Indonesia adalah lambannya upaya-upaya re-orientasi pendidikan agama secara mendasar sehingga diharapkan mampu menghasilkan out put yang disamping memiliki kompetensi juga berkarakter (berkepribadian) yang baik. Re-orientasi yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjawab berbagai kritik mengenai gagalnya pendidikan agama di Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pendidikan agama harus diarahkan menjadi bentuk pendidikan yang berkeadaban. Yakni, pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran keberagamaan siswa didik yang berisi berbagai hal mendasar seperti kesadaran akan Tuhan, komitmen moral, rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial.

Oleh karena itu, pendidikan agama seyogyanya tidak hanya mengedepankan pengkayaan aspek kognitif semata, tetapi juga pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian ruang kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas dengan rangsangan pada aspek psiko-motorik merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain yang lebih singkat agama haruslah diajarkan secara total dan tuntas.
Belajar Agama Secara Tuntas, Bukan Sekedar Hafalan

Membicarakan pendidikan agama adalah membicarakan tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas 'pengajaran agama'. Karena itu, parameter keberhasilan pendidikan agama tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang diberikan melalui 'angka-angka' yang didasarkan pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam tingkah laku dan budi pekerti siswa didik sehari-hari. Wujud nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu pendidikan agama adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang manusia.

Seorang tokoh filsafat perennial, Seyyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam) musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran, melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah yang menyebabkan mengapa pendidikan agama (Islam) bukan hanya menyampaikan pengetahuan (al-Ta'lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang muallim, penyampai pengetahuan, tetapi juga seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian.

Sementara itu, model pendidikan agama hendaknya tidak menekankan pada metode hafalan. Alasannya, metode hafalan hanya memperkaya wilayah kognitif semata, sehingga mengesankan pendidikan agama hanya bersifat 'formalitas' semata. Siswa didik kurang diajak untuk memasuki wilayah pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran agama. Namun pada kenyataannya saat ini, parameter keberhasilan pendidikan agama selama ini masih diukur dari penguasaan aspek kognitif tentang agama yang ada di buku, bukan pada aspek afektif yang menuju pada pembentukan perilaku siswa didik. Dengan demikian perlu adanya upaya re-oirentasi, yaitu perubahan proses yang diawali dengan merubah metodologi, dari hafalan menjadi penciptaan kompetensi berbasiskan agama. Dengan berbasis kompetensi semacam ini, pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran agama. Penekanan kompetensi berbasis agama ini juga mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek Iman, aspek Ilmu, dan aspek Amal.

Sungguhpun demikian, di antara tiga hal tersebut yang dapat dijadikan tolok ukur adalah sejauhmana pengamalan ajaran agama yang telah diajarkan di sekolah, sebab meskipun siswa didik mampu menguasai materi pelajaran agama yang didapat disekolah, dus juga dianggap memiliki iman yang kuat, tetapi prilakunya buruk, maka pendidikan agama dapat dianggap belum berhasil.
Menggagas Pendidikan Agama "Rahmatan Lil Alamin"

Salah satu fungsi pendidikan agama adalah mejadikannya 'rahmatan lil alamin'. Cita-cita semacam ini senafas dengan kandungan nilai-nilainya yang universal serta berpihak kepada kemanusiaan. Kedua, semangat ini memuat pemahaman bahwa agama tidaklah diperuntukkan bagi segolongan manusia semata, tetapi agama diwahyukan untuk seluruh makhluk. Agama merupakan solusi bagi terciptanya perdamaian, kebahagiaan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia sebagai khalifatullah fi al-ardl. Semangat yang demikian itulah yang semestinya menjadi spirit pendidikan agama di semua institusi pendidikan, dan bukan sebaliknya, agama hanya diajarkan sebatas ritual semata. Nilai-nilai ajaran agama yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, menerima perbedaan, setiakawanan sosial, saling menghormati, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan menghargai hak asasi orang lain seharusnya menjadi topik-topik pokok dalam pengajaran agama.

Lebih dalam dari itu, pengajaran nilai-nilai luhur itu tidak hanya sebatas mendorong agar siswa didik menghafal dan mengetahui, tetapi juga perlu ditekankan agar siswa didik mampu memahami dan menghayati secara mendalam (menginternalisasikan) serta mampu memperaktekkannya (mengaktualisasikan) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang telah diketahui, difahami, dan dihayati tersebut dapat berbanding lurus dengan perilaku keseharian dalam hidup bermasyarakat.

Pendidikan agama yang ber fungsi sebagai media penyadaran umat, pada kenyataannya saat ini dihadapakan pada problem bagaimana ia dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengembangkan sebuah teologi inklusif dan pluralis. Dengan begitu, dalam masyarakat akan tumbuh pemahaman yang inklusif. Sehingga harmonisasi agama-agama ditengah kehidupan masyarakat dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran pluralitas yang demikian itu, niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya-upaya untuk merubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif.

Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri dan ketidak-benaran agama lain, seharusnya direorientasi. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman-kafir, muslim-nonmuslim dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap agama lain misalnya, mau tidak mau harus 'dibongkar ulang' agar sekelompok penganut agama tidak lagi memandang agama lain sebagai agama yang 'salah' dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam agama yang diyakininya. Sebab cara pandang atau pemahaman teologis yang ekslusif dan intoleran yang demikian pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.

Dari hasil penelitian yang sebagaimana diungkapkan oleh Amin Abdullah bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi atau dari TK sampai perguan tinggi, nyaris kurang (untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal, guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif.

Karena itulah, meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Paulo Freire, bahwa fungsi pendidkan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menjumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Dengan cara pandang seperti ini, maka sekarang kita mesti melakukan 'pembebasan' terhadap pendidikan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan warna yang lebih inklusif. Yang perlu untuk kita lakukan adalah mendekonstruksi visi pendidikan agama yang ekslusif ke arah penguatan visi inklusif. Hal ini dianggap penting karena kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme dalam pendidikan agama pada akhirnya akan menyuburkan gerakan radikalisme (yang mengatasnamakan) agama. Namun sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam pendidikan agama, akan semakin menciptakan cita-cita perdamaian antar agama. Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama.

Karena itulah, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti penting keanekaragaman dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem pendidikan nasional tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi (kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat yang lebih substansial, yakni pencerdasan kehidupan sosial secar lebih luas. Dengan logika pendidikan agama yang seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sebuah sistem pendidikan nasional yang sangat menghargai pluralitas, bersikap toleran, dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat.
Strategi dan Pengembangan Pendidikan Agama Inklusif

Realitas keberagamaan dalam kehidupan masyarakat seringkali nampak tidak sinkron dengan fungsi serta tujuan agama itu sendiri. Hal demikian tergambar dalam beberapa fase 'sejarah buram' agama, dimana agama dianggap tidak mampu untuk menyuarakan kekuatan spiritualnya atau dengan bahasa lain, agama telah kehilangan elan vitalnya dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, agama menjadi pengabsah berbagai bentuk kekerasan. Dalam rentang sejarah pergumulan agama-agama tercatat banyak sekali 'adegan pertikaian' yang bersimbah darah antar umat beragama dengan dalih atas nama penegakan kebenaran. Misalnya, perang antar umat Katolik dengan Protestan pada abad 16, pembantaian kalangan Yahudi oleh NAZI di Jerman, peristiwa perang salib antara umat Islam dengan umat Kristiani hingga berbagai macam bentuk kekerasan dan permusuhan di bawah kibaran bendera agama yang banyak terjadi akhir dekade ini di Indonesia seperti peristiwa Poso, Ambon, Maluku dan lain-lain.

Mengapa hal itu terjadi? Ada salah apa dengan agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seringkali dilontarkan oleh banyak kalangan. Jika kehadiran agama di muka bumi ini adalah membawa misi perdamaian, mengapa fenomena kekerasan bernuansa agama masih juga sering terjadi. Kesimpulan sementara dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utamanya bukanlah ajaran-ajaran yang dibawah oleh setiap agama, melainkan pemahaman umat yang kadang dangkal sehingga tidak mampu menangkap pesan asasi Tuhan seperti bertoleransi, berbuat adil dan menegakkan keadilan, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Bilamana pesan-pesan asasi Tuhan tersebut dapat dipahami dengan seksama serta dapat diimplementasikan dalam tindak laku, maka niscaya agama akan selalu dalam 'rel utamanya', yakni sebagai pembawa berita kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh.

Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada suatu kebutuhan yang mendasar yang harus dipenuhi oleh para pemeluk agama masing-masing yaitu sebuah kesadaran penuh dalam rangka melestarikan pesan-pesan agama dan integritas agama. Untuk mewujudkan hal itu, tentunya haruslah ada sebuah gagasan dalam menyelenggarakan pendidikan agama yaitu sebuah kerja-kerja yang konkrit dari semua pemeluk agama. Pesan-pesan dan integritas agama dalam hal ini sangatlah berperan penting dalam dunia pendidikan, karena apa yang ada pada ajaran masing-masing agama tersebut akan menjadi barometer sejauh mana mentalitas anak didik terbentuk serta mereka dapat berperilaku sesuai dengan pemahaman yang didapatnya dari sekolah. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu menyusun suatu rumusan konsepsional strategi pengembangan pendidikan agama yang inklusif. Peran tersebut dapat berjalan kalau kemudian kita dapat membuat rancangan-rancangan yang terkonsepsi dan dapat dituangkan dalam metode pendidikan agama dan kurikulum pendidikan yang kemudian harus kita terapkan menurut kebutuhan-kebutuhan yang ada.

”Merusak Pendidikan Agama”

“Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Itulah judul sebuah buku yang ditulis seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan, bahwa buku ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan ‘Pendidikan Multukultural’ sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.”

Buku ini penting untuk kita cermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Maka, seharusnya, seorang profesor kenamaan tidak sampai terjebak untuk memuji-muji buku seperti ini. Apalagi, si profesor juga dikenal sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Mungkin Sang Profesor tidak membaca isinya dengan teliti, atau mungkin memang dia sendiri setuju dengan isi buku tersebut.

Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Bahkan, seperti pernah kita bahas dalam sejumlah CAP, istilah dan makna ”multikulturalisme” itu sendiri – seperti dijelaskan oleh para pendukungnya -- sudah sangat bermasalah.

Tetapi, kita sangat memahami, karena paham ini sedang menjadi proyek global – yang tentu saja ada kucuran dana yang sangat besar – maka wacana multikulturalisme terus dijejalkan kepada kaum Muslim Indonesia. Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di berbagai pesantren, khususnya di Jawa Barat, juga telah dijejali paham ini oleh agen liberal, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP).

Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya.

Kita pernah membahas apa makna ”Multikulturalisme” dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena -- salah satunya -- disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat.

Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama dan kepercayaan di luar agamanya.

Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama – jika masih berpegang pada keyakinan agamanya – pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama. Kita ingat jargon populer kaum Pluralis Agama, yakni ”All paths lead to the same summit” (semua jalan akan menuju puncak yang sama). Maksudnya, agama apa pun sebenarnya menuju pada Tuhan yang sama. Tokoh pluralis lain menggambarkan agama-agama laksana jari-jari sebuah roda yang semua menuju pada poros yang sama. Poros itulah, menurut dia, adalah Tuhan.

Semangat humanisme sekular tanpa diskriminasi agama inilah yang juga ditekankan dalam buku ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Misinya adalah membangun persaudaraan universal tanpa membedakan lagi faktor agama, sebagaimana misi yang digelorakan oleh Free Masonry, Theosofie, dan sebagainya. Misalnya ditulis dalam buku ini:

”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kami... Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).

Bagi yang memahami tafsir Al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang kalimatun sawa’ semacam itu tentulah dan ngawur. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya, yakni perintah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya):

”Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah.”

Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham Multikulturalisme. Meskipun maknanya sudah begitu jelas, tapi para pendukung paham Multikulturalisme ini dengan sangat berani dan gegabah membuat makna sendiri. Karena menjadikan paham Multikulturalisme sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan maknanya. Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah syirik. Karena itu, Allah sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai ”kezaliman yang besar” (zhulmun ’azhimun). Karena itu, di dalam Al-Quran disebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka, karena dituduh mempunyai anak (QS 19:88-91).

Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, justru keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang:

”Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan

klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang mempunyai corak pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya semua mengatasnamakan Tuhan.” (hal. 48)

Tidak sulit untuk menyimpulkan, bahwa sadar atau tidak, misi buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang jelas-jelas merusak aqidah Islam. Agar memiliki daya rusak yang tinggi, maka digunakanlah salah satu aspek strategis, yakni ”Pendidikan Agama”. Daya rusak itu tentu saja semakin tinggi dengan dukungan profesor kenamaan yang memiliki kekuasaan tinggi di Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim.

Buku Pendidikan Agama jenis ini memang jelas-jelas menyebarkan ’paham syirik’ Pluralisme Agama. Sebab, buku ini membenarkan semua paham syirik yang dengan tegas telah dikecam dalam Al-Quran. Ditulis, misalnya: ”Jadi, semua agama adalah sebuah totalitas sosio-kultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.” (hal. 50).

Lebih jauh dijabarkan bahwa: ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman agama-agama siswa. Dalam hal ini, proses mengajar lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion), karena yang pertama melibatkan pendekatan kesejarahan (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), sedangkan yang kedua melibatkan indoktrinasi dogmatik pada siswa sehingga secara praktis ia tidak memberikan sarana yang memadai untuk menentukan palajaran/kuliah mana yang dapat diterima dan mana yang perlu ditolak.” (hal. 102).

Untuk menjalankan misi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural tersebut, maka juga diperlukan guru-guru yang memiliki pemahaman yang sama. ”Guru penganut suatu agama yang meyakini hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan, tertutup kemungkinan untuk menerima validitas kepercayaan-kepercayaan alternatif dan gagal mengajarkan toleransi dan saling menghargai antar sesama penganut agama.” (hal. 103).

Jadi, jelaslah, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural memang berusaha menggerus keyakinan ekslusif tiap agama, khususnya aqidah umat Islam. Untuk itu, penulis buku yang sudah sangat populer keliberalannya ini memang tidak takut-takut untuk merusak tafsir Al-Quran, sebagaimana contoh terdahulu. Sejumlah ayat Al-Quran lainnya juga dia tafsirkan dengan semena-mena.

Misalnya, dengan seenak perutnya sendiri, ia mengubah makna ”taqwa” dalam QS 49:13. Kaum Muslim memahami bahwa makna ’taqwa’ adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, istilah ’taqwa’ diartikan sebagai ”yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat.” Buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:

”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara kamu.” (hal. 49).

Sebagai kaum Muslim, kita diperintahkan untuk sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam acara ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam” di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan Al-Quran.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”

Mencermati isi buku ini tidaklah sulit bagi kita untuk menilai, bahwa buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang merusak aqidah Islam dan Tafsir Al-Quran. Namun, Professor sekaliber Azyumardi Azra justru memberikan pujiannya. Penulis buku ini, menurut sang Professor UIN Jakarta ini,”telah membuka pintu masa depan kajian pendidikan agama bercorak multikulturalisme di Indonesia”.

Jadi, pintu untuk merusak Pendidikan Agama di Indonesia sudah resmi dibuka! Lalu, apa tindakan kita? [Depok, 7 Juli 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Pendidikan Agama di Sekolah dan di Rumah : Seberapa penting ?

Agama disini lebih dimaksudkan tentang moral, akhlak, etika, kesantunan, dan hal semacam itu.
Menjawab penting atau tidaknya peran pendidikan agama– dikaitkan dengan moral, akhlak dan etika – maka jawabannya tergantung dari dampak yang muncul di masyarakat.
Lihatlah misalnya, berapa banyak (quantity) dan berapa parah (quality) kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penganiayaan dan hal semacam itu yang sudah terjadi di masyarakat.
Bila itu banyak (quantity maupun quality) dilakukan oleh orang dewasa, maka itulah hasil pendidikan agama mereka dahulu. Itulah hasil “pemahaman” mereka atas agama.
Jika ini juga banyak (quantity maupun quality) terjadi pada para pelajar, maka itulah juga hasil “pemahaman” mereka atas agama.
Pemahaman atas agama yang menyangkut akhlak, moral dan etika apabila dipahami secara utuh dan benar, secara logika sederhana, tentu paling tidak dapat mengeliminir perilaku buruk tadi.
Sekarang kita melihat, atas nama demokrasi mereka berkelahi di ruang sidang, menjelek-jelekkan seseorang di ‘mimbar bebas’ yang dapat berupa aula kampus, jalan-jalan protokol atau pojok warung kopi. Adakah pemahaman ‘ghibah’ telah sampai hingga mampu berlaku santun ?
Lima atau delapan tahun lalu beberapa SMU sudah saling menjadi musuh bebuyutan di meetropolitan sana. Beberapa tahun kemarin kasus perploncoan nyata sudah begitu mengenaskan. Lalu tawuran itu merambah ke dunia para mahasiswa/i. Atas nama gengsi, demokrasi, atau apapun namanya.
Dilingkungan lebih rendah dari alam pendidikan, kini marak kasus smack down.
Ini miris. Belum lagi ditambah kelakuan bejat anggota dpr yang selingkuh atau tingkah “nyleneh” poligami-nya sang publik figur.
Lalu bagaimana?
Solusinya ada di pendidikan agama, entah dirumah, di sekolah, dikantor, di warnet, dimanapun itu. Janganlah jika ada anak yang kena korban smackdown lalu yang lain meradang dan minta agar stasiun tv berhenti menayangkan itu. Bukannya tidak boleh, tapi itu saja belum cukup. Perlu ada yang lebih mendasar. Kita toch tidak bisa menyalahkan anak, guru atau institusi apapun atau bahkan diri sendiri ketika anak kita menjadi korban narkoba. Itu mesti dikendalikan dari awal, dari hulu dan konsisten.
Caranya?
Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan – satu lagi jangan lupa – mulai dari keluarga terdekat.

Agama dalam Keluarga
Dulu ketika kecil, alhamdulillah saya dibiasakan shalat maghrib berjamaah dengan ayah dan bunda. Setiap malam jumat, habis shalat maghrib kita sama-sama baca Yasin dipimpin Ayah.
Hasilnya terasa hingga sekarang sudah memiliki momongan. Ternyata, ini adalah hal-hal kecil sangat jitu bila diterapkan dengan konsisten.
Setiap minum susu “Allahumma Bariklana” dulu, setiap mau jalan-jalan, ketika start mobil atau motor, “Bismillahi majrooha” dulu, setiap mau bobok “bismikallaahumma ahya” dulu, dan sebagainya.
Makan bersama, main PS bersama, nonoton TV bersama, baca koran bersama, dan kebersamaan lainnya (termasuk shalat bersama)
Memberi penjelasan sederhana atas hal-hal etika moral.
Semua hal kecil yang dilakukan konsisten, ternyata (berdasarkan pengalaman pribadi lho) mampu meresap ke diri anak hingga dewasanya. Maka kemudian, ketika si anak sampai ditahap mesti memutuskan sendiri, hal-hal kecil tadi akan setidaknya menjadi filter yang baik bagi keputusan yang diambilnya.
Ada cerita menarik dari seorang teman yang masih bujang :
Alkisah dia (sebutlah si A) diajak bos-nya nginap disuatu hotel (tempat dan nama hotel tidak usah disebut ya). Lalu ketika malam tiba, telpon dikamarnya berdering. Rupanya dari si Bos yang katanya nanti sekitar jam 1 malam akan ada yang datang utk “nemani”. Si A ini mengerti tapi masalahnya dia ‘baru’ dalam hal seperti ini.
Maka jam satu malem, pintunya diketok. Masuklah seorang yang ‘semlohay’. Si A tergiur dan mulailah acara ‘buka-buka-an’. Tapi ujug-ujug (tiba-tiba) si A inget dia belum shalat isya. Ujug-ujug juga dia inget mamahnya yang biasanya mengingatkan bila ia belum shalat isya.
Ujung cerita, si A ngga’ berani melakukannya. Ia usir si ‘semlohay’ dengan cara baik-baik. Ia keringat dingin (katanya) dan semalem itu ngga’ bisa tidur…

Agama di Sekolah
Kasus Smack down adalah contoh paling gampang dan paling update atas perlunya pendidikan etika agama di sekolah. Menyalahkan tayangan TV? Sah saja, tapi andai pendidikan moral agama tadi berhasil terpahami di sekolah, tentulah hal semacam ini mapu tereliminasi cukup signifikan (paling tidak dari segi jumlah dan kulaitas keparahan).
Ini bukan berarti memojokkan pendidikan agama yang sekarang diterapkan. Tapi mungkin bisa menjadi masukan bagi sistem pendidikan moral agama di sekolah.
Mulai dari playgroupnya, TK hingga perguruan tinggi nantinya. Logika sederhananya bila seorang anak sudah “tidak bermutu” pendidikan etika moralnya, maka ketika SD dia bersmack down ria, di SMP mulai ‘nggerogoti’, di SMA belajar tawuran atau narkoba, di kuliah sama saja dan ketika jadi ‘orang’ maka ter-ejawantah semua deh. Bila jadi anggota dewan ia gampang bikin keributan yang ngga’ jelas. Jadi polisi akan menyiksa pesakitan. Jadi guru (wah, kasian muridnya deh), jadi hakim atau pengacara…entahlah

Resume
Dari itu semua, maka wajar jika pendidikan moral etika agama dimulai dari kedua orang tua. Bagaimana kita membimbing dan mengawasi serta memberi tauladan.
Kemudian di sekolah (karena nyaris ½ waktu hidupnya disekolah). Bagaimana sistem dan pengguna sistem tsb berhasil memberikan pemahaman etika moral yang teresapi oleh si anak.
Barulah faktor lain berperan kemudian

Wassalam,

PAUD Berbasis Aqidah Islam

Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas pemimpin, yakni (1) berkepribadian Islam,(2) menguasai tsaqofah Islam, dan (3) menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai. Apabila ke tiga tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli bangsa.

Setiap orang harus siap untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan itu sebuah sunatullah dan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak. Sebagaimana ditegaskan didalam sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya... (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar).

Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya dengan sistem hidup Islam. Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem kehidupan Islam, pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan.

Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses pendidikan. Proses pendidikan dapat terjadi di mana saja, sehingga berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan tempat terjadinya proses tersebut dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditentukan.

Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan integral sangatlah khas dan unik. Kurikulum ini memiliki ciri- ciri yang sangat menonjol pada arah, azas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.

Azas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Azas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi diantara semua komponen penyelenggara pendidikan. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah Islam sebagai azas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan istilah lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan. Oleh sebab itu, implementasi pendidikan anak usia dini adalah PAUD BAI.

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).

Menyelamatkan Pendidikan Usia Dini

Pendidikan usia dini, belum sepenuhnya dapat ditangani oleh pemerintah, sehingga masih banyak anak prasekolah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana diamanahkan oleh pasal 28 undang-undang pendidikan nasional no 20 tahun 2003.

Dari 8.259.200 orang anak pra sekolah usia 5-6 tahun, hanya baru dapat pendidikan sebanyak 22, 33% atau 1.845.983 orang. Rasio layanan lembaga pendidikan terhdap anak usia dini tergolong rendah, yaitu 1:86. Pada tahun 2006 dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73% atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini. Sedangkan sisanya 27% atau sekitar 7,5 juta anak, mendapatkan pendidikan seperti membaca dan berhitung di bawah lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan usia dini belum sepenuh tertangani oleh pemerintah dan sangat memerlukan perhatian serius guna menyelamatkan masa depan bangsa ini.

Tidak dapat dipungkiri, lambatnya penangan pendidikan usia dini akan memperpanjang catatan buram kualitas pendidikan dan menghambat percepatan peningkatan daya saing kualitas manusia Indonesia. Saat sekarang, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Singapur. Bahkan menurut laporan World Competitiveness Year Book 2007 daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 53 dari 55 negara yang diseurvei. Sedangkan daya saing sumber daya manusia jauh tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari rating Human Development Index (HDI) Indonesia diperingkat dunia berada pada urutan 107 dari 177 negara. Di Asean Indonesia diurutan ke-7 dari sembilan negara-negara Asean.

Di samping itu, indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Oleh sebab itu, wajar di Indonesia baru ada 0,18% pengusaha, sedangkan syarat sebuah negara maju kata Ciputra minimal ada 2% pengusaha dari jumlah penduduk. Singapura saat sekarang sudah mempunyai 5% dari jumlah penduduknya.

Keterlambatan penanganan pendidikan usia dini bersignifikan pula terhadap lambatnya pemberantasan buta aksara, sehingga melek huruf dan membaca di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Menurut laporan World Bank melek membaca anak Indonesia berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapur. Sedangkan menurut versi International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA), minat membaca anak-anak Indonesia setaraf dengan Selandia Baru dan Afrika Selatan.

Untuk keluar dari permasalahan ini, pendidikan harus dibenahi mulai dari usia dini. Pendidikan usia dini tidak dapat dibaikan. Pengabaian terhadap hal ini hanya akan memperparah keterburukan bangsa ini. Sehubungan dengan itu Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global sekarang ini. Oleh sebab itu, saatnya pemerintah mewujudkan mesin-mesin cerdas pencetak pendidikan yang berkualitas.

Salah satu mesin cerdas itu diarahkan untuk membangun kualitas pendidikan usia dini. Satu hal yang paling mendesak dilakukan untuk memperbaiki pendidikan anak usia dini adalah melakukan pemerataan terhadap institusi sekolah. Masalahnya keterbatasan instititusi sekolah tersebut telah menjadi salah satu faktor tidak tertanganinya pendidikan anak usia dini. Menurut data balitbang pendidikan nasional 2007, sebanyak 77,66% atau 641.3217 dari 8.259.200 orang anak usia dini belum tersentuh oleh pendidikan, karena keterbatasan instititusi sekolah.

Di Indonesia baru pada tahun 2004, pendidikan anak usia dini mulai mendapat pelayanan yang luas, seperti melalui bina keluarga balita (9,6%), taman kanak-kanak (6,5%), raudhatul athfal (1,4%), kelompok bermain (0,13%), dan taman penitipan anak (0,05%), serta lainnya (9,9%). Pada tahun 2007, pelayanan tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ditemukan banyak diantara mereka belajar di ruangan kelas yang tidak layak untuk pendidikan, misalnya dari 93.629 buah TK di Indonesia hanya 77.339 buah yang layak menjadi tempat belajar.

Walaupun demikian, pelayanan tersebut masih tergolong lambat dan masih belum mampu menanggulangi pendidikan usia dini secara merata. Masih banyak anak-anak usia dini yang tersia-siakan.

Mengagas penyelamatan bersama

Jika dilihat dari anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pembinaan dan penanganan pendidikan usia dini dari tahun-ketahun dirasakan masih kecil dan masih belum mampu mempercepat melahirkan pendidikan usia dini yang menyentuh semua kalangan. Pada tahun 2006, pemerintah baru mampu menganggarkan sebesar Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar untuk dikelola daerah. Jumlah dana ini masih kecil jika bandingkan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada di Indonesia. Pada tahun 2007, terjadi penggenjotan dana untuk mendorong mutu pendidikan usia dini, pemerintah telah mengucurkan dana sekitar US$127,8 juta. Dana ini hasil kerja sama pemerintahan Indonesia dengan Bank Dunia dan Pemerintah Belanda.

Namun, melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan usia dini termasuk sarana dan prasarana maka jumlah anggaran keuangan yang dikucurkan tersebut belum sepenuhnya mampu mencerahkan pendidikan usia dini di negara yang berjumlah 224 juta jiwa ini.

Untuk menanggulangi masalah ini, perlu digagaskan penyelematan bersama dan tidak tertumpu pada anggaran yang diberikan pemerintah saja. Pemerintah harus mempunyai sistem yang cerdas dalam menggagas pendidikan yang berbasis partisipasi. Apalagi dalam era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah mempunyai peluang yang luas dalam mengembangkan daerah bersama masyarakat. Peluang yang luas ini pula yang akan menyelamatkan pendidikan usia dini. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Menurut Osborne dan Geabler salah satu tugas dari pemerintah adalah mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut dan tidak selalu menempatkan masyarakat di ranah objek.

Dalam konteks kondisi Indonesia seperti sekarang ini, jumlah orang miskin yang meningkat akibat kenaikan harga dan pemutusan hubungan kerja yang cukup tajam, maka yang terpenting dilakukan dalam menyelamatkan anak-anak mereka adalah membangun sekolah untuk semua.

Termasuk membangun sekolah usia dini yang ramah biaya yang dapat dijangkau oleh semua orang. Oleh sebab itu, filantropi-filantropi pendidikan harus berkembang dan sekolah-sekolah kapitalis yang berorientasi bisnis belaka sudah saatnya berhati nurani untuk menampung anak ba

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.


Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.



LANDASAN YURIDIS
Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
Amandemen UUD 1945 pasal 28 C

’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)

’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’

4. UU No 20/2003 pasal 28

1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.

3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.


PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA


Komitmen Jomtien Thailand (1990)

’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’


Deklarasi Dakkar (2000)

’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’

Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)

‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’


PENTINGNYA PAUD

1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.

2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.

3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.

5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.


KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI


Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.


Faktor Lingkungan
Lingkungan dalam kandungan
Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.


MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI

Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.

Siswa Berkebutuhan Khusus Diprioritaskan

Bandung-Pemerintah tetap memberikan prioritas pada anak berkebutuhan khusus untuk dapat mengakses pendidikan. Siswa berkategori berkebutuhan khusus, yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa, autis, cerdas istimewa, bakat istimewa, sekolah inklusi dan anak-anak pendidikan layanan khusus.
Saat ini, anak berkebutuhan khusus masih memberikan kontribusi yang cukup besar atas belum tercapainya penuntasan wajib belajar (Wajar) pendidikan dasar sembilan tahun yang ditargetkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) harus tuntas pada tahun 2009.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini anak berkebutuhan khusus masih memberikan kontribusi yang cukup besar atas belum tercapainya penuntasan wajar sembilan tahun yang telah ditargetkan Depdinas harus tuntas pada tahun 2009," ujar Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie yang dibacakan oleh Deputi IV Menko Kesra Fuad Abdul Hamid saat membuka ajang prestasi, kemah bakti dan gebyar seni yang diikuti oleh 330 siswa pendidikan khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) tingkat nasional, di Bandung, Rabu (15/11).
Sementara itu, Dirjen Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengatakan saat ini ada sekitar 50 juta siswa pendidikan dasar dan menengah.
(stevani elisabeth)
 

Siswa Berkebutuhan Khusus Diprioritaskan

Bandung-Pemerintah tetap memberikan prioritas pada anak berkebutuhan khusus untuk dapat mengakses pendidikan. Siswa berkategori berkebutuhan khusus, yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa, autis, cerdas istimewa, bakat istimewa, sekolah inklusi dan anak-anak pendidikan layanan khusus.
Saat ini, anak berkebutuhan khusus masih memberikan kontribusi yang cukup besar atas belum tercapainya penuntasan wajib belajar (Wajar) pendidikan dasar sembilan tahun yang ditargetkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) harus tuntas pada tahun 2009.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini anak berkebutuhan khusus masih memberikan kontribusi yang cukup besar atas belum tercapainya penuntasan wajar sembilan tahun yang telah ditargetkan Depdinas harus tuntas pada tahun 2009," ujar Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie yang dibacakan oleh Deputi IV Menko Kesra Fuad Abdul Hamid saat membuka ajang prestasi, kemah bakti dan gebyar seni yang diikuti oleh 330 siswa pendidikan khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) tingkat nasional, di Bandung, Rabu (15/11).
Sementara itu, Dirjen Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengatakan saat ini ada sekitar 50 juta siswa pendidikan dasar dan menengah.
(stevani elisabeth)
 

Kelas Layanan Khusus Kurang Siswa

SURABAYA - Proses rekrutmen siswa kelas layanan khusus (KLK) masih berjalan hingga September 2008. Namun tak banyak masyarakat yang mengetahui program penjaringan anak yang belum sekolah atau putus sekolah, pada usia 8-14 tahun ini. Padahal KLK sudah berjalan sejak 2004 lalu di SDN Pegirikan I, SDN Wonokusumo XII, dan SDN Keputih.

Kasie Kurikulum dan Pembinaan TK-SD Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya Eko Prasetyoningsih mengatakan SDN Keputih baru 2009 ini menjalankan KLK. Namun, tidak banyak orang tahu keberadaan KLK tersebut. “Kurang sosialisasi. Akibatnya, masih banyak anak putus sekolah di Surabaya,” ujar Eko, Kamis (24/7).

Cara perekrutan siswa pun tergolong unik. Yaitu dari mulut ke mulut yang memberdayakan kegiatan arisan di RT dan RW. Tak luput, guru, kepala sekolah, dan teman sebaya.

Siswa KLK dibebaskan dari biaya sekolah. Tiap anak mendapat bantuan sebesar Rp 65.000 dari Dindik Kota Surabaya yang diwujudkan dalam bentuk perlengkapan sekolah. Seperti seragam, tas, sepatu, dan kaus kaki. “Jika ada anak usia tujuh tahun ditemukan, dia segera dimasukkan ke kelas reguler. Bukan KLK, sebab usianya masih masuk usia wajib belajar,” jelas Eko. ida

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS BAGI ANAK-ANAK KORBAN BENCANA BANJIR DI PALANGKA RAYA

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan Palangka Raya, yaitu sekitar Kecamatan Sabangau ada 3 Kelurahan yang sering terkena musibah banjir bila musim penghujan tiba. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Danau Tundai, Kelurahan Bereng Bengkel, dan Kelurahan Kameloh Baru. Di Kelurahan-kelurahan tersebut terdapat 3 SD Negeri dan 2 SMP dengan jumlah siswa seluruhnya 321 orang, sedangkan jumlah guru baik yang PNS maupun honor ada 47 orang. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut sering terhambat karena bencana banjir. Walaupun bangunan sekolah sudah ditinggikan namun bagi siswa yang tidak mempunyai jukung (perahu dayung) tidak bisa sekolah. Begitu pula bagi guru-guru mereka harus carter kelotok dengan biaya yang sangat memberatkan.

Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mempunyai program Pendidikan Layanan Khusus diantaranya Program Remedial/Pengayaan bagi siswa yang memerlukan. Program tersebut bisa membantu siswa-siswa yang mengalami hambatan belajar, baik hambatan yang ada pada diri siswa maupun hambatan yang datang dari luar diri siswa seperti karena adanya bencana alam seperti banjir atau kebakaran, dan sebagainya. Khusus bagi siswa berbakat dan cerdas istimewa Lembaga ini juga mempunyai program pengayaan sehingga potensi yang ada pada anak tersebut dapat berkembang seoptimal mungkin.

Oleh karena itu Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mengajukan permohonan bantuan subsidi kepada pemerintah yaitu Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Jakarta sesuai dengan kebutuhan yang sangat mendesak pada saat ini. Dan Alhamdulillah usulan tersebut dapat dikabulkan.

Tujuan penyelenggaraan pendidikan layanan khusus sebagai berikut :

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan khusus.
2. Membantu proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.
3. Memotivasi siswa dan guru dalam proses belajar mengajar

Kegiatan ini meliputi kegiatan – kegiatan :

1. Sosialisasi Program PLK
2. Pemberian Alat Bahan Ajar
3. Kunjungan ke sekolah – sekolah rawan banjir
4. Bimtek PLK bagi guru – guru sekolah rawan banjir
5. Kegiatan Lomba bagi siswa – siswa sekolah rawan banjir

NTT selenggarakan pendidikan layanan khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *

Anak Nelayan Terima Layanan Khusus

Muaraangke, Warta Kota

Anak-anak yang tinggal di perkampungan nelayan Muaraangke, Penjaringan, Jakarta Utara, membutuhkan perlakukan khusus. Pasalnya, anak-anak tersebut tinggal bersama orangtua yang tergolong miskin dan tidak bisa memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka juga tergolong sulit untuk bersekolah.

Atas pertimbangan itu, Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Lentera Bangsa menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak nelayan di Blok Empang, Kampungbaru, Muaraangke. Sebanyak 180 anak usia TK hingga SMA bersekolah di sekolah khusus tersebut. Mereka tanpa berseragam sekolah bisa menikmati pendidikan layaknya di sekolah formal.

Khaerul (10), salah satunya. Siswa kelas 4 SD ini sangat senang bisa bersekolah di PLK Lentera Bangsa. Alasannya, dia bisa belajar menggunakan komputer. ”Baru bisa pakai komputer sedikit,” ucapnya saat ditemui Warta Kota di Muaraangke, Rabu (8/4).

Selain itu, Khaerul bisa menambah pengetahuan pendidikan formal, seperti matematika, bahasa Indonesia, dan IPA di sekolah tersebut. Darsidah (48), orangtua Khaerul, ingin agar anaknya bisa terus bersekolah, selama sekolah itu tidak memungut biaya. ”Kalau harus pakai biaya, duit darimana,” ucapnya.

Dikatakan Darsidah, penghasilan suaminya sebagai kuli dorong gerobak ikan tidak memadai untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. ”Kalau ada pekerjaan, paling sehari dapat Rp 50.000,” katanya.

Bangunan sekolah di PLK Lentera Bangsa tidak seperti sekolah umumnya. Sekolah yang berdiri dua tahun terakhir itu dibangun di atas empang. Jika hujan, jalanan di sekitar sekolah becek. Akibatnya, sandal atau sepatu anak-anak pun tebal dengan tanah cokelat. Ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya biasanya tanpa alas kaki atau memakai sepatu boot.

”Yang penting anak bica cari ilmu,” ujar Rohani (30) yang dua anaknya duduk di bangku TK PLK Lentera Bangsa.

Bangunan sekolah dibuat dari bilah-bilah bambu, jendela dari kawat, lantai dari kayu, dan atap dari asbes. Bangunan sekolah yang luasnya sekitar 36 meter persegi itu terbagi dua ruang. Setiap ruang memiliki dua papan tulis. Guru yang siap sedia mengajar ada 6 orang, termasuk 3 mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Lentera Bangsa.

Selain memberikan pendidikan formal, Lentera Bangsa juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti perbengkelan dan cuci motor atau mobil. ”Kami juga akan memberikan keterampilan tata boga dan tata busana, tapi peralatannya belum ada dan sedang diusahakan,” ucap Saefudin Zuhri, Ketua PLT Lentera Bangsa.

Dia mengatakan, untuk membawa anak-anak mau bersekolah, bukan perkara mudah, walaupun sekolah gratis. Zuhri dan teman-temannya harus terus membujuk agar para orangtua menyekolahkan anak-anaknya.

Biaya operasional itu diperoleh Saefudin dari para donatur dan blockgrand dari pemerintah Rp 50 juta per tahun.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, mengatakan, anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. (Intan Ungaling)

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

BANDUNG, KOMPAS - Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)

Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.

Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.

”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.

Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.

Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.

Tumbuh dari masyarakat

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.

Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.

Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.

Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.

Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.

”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.

Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.

Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?

Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.

Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.

Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.

Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.

Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).

Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).

Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.

Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Tiga Juta Anak Butuh Pendidikan Khusus

JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.

”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.

Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik. (rendra hanggara)

Pemerintah Diminta Lebih Serius Layani Pendidikan Khusus

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat Pendidikan Utomo Dananjaya meminta pemerintah lebih serius melayani anak Indonesia yang membutuhkan pendidikan layanan khusus. Selama ini, kata Utomo, pendidikan layanan khusus dilakukan oleh masyarakat lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah lah yang harus menanggung beban anak Indonesia berkebutuhan khusus ini.

"Pemerintah harus menyiapkan anggaran yang cukup untuk pendidikan layanan khusus, pemberian tanggung jawab kepada lembaga/masyarakat tidak cukup, tidak ada jaminan pendidikan akan terus berlanjut," kata Direktur Institute of Education Reform in, Senin (13/4).

Utomo menganggap pemerintah saat ini lebih bangga memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas, sedangkan untuk anak miskin cenderung diabaikan. "Pemerintah bersikap diskriminatif pada anak miskin dan tertinggal," katanya.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso menyatakan sekitar tiga juta anak Indonesia kesulitan mengakses layanan pendidikan formal (sekolah reguler). Anak-anak itu terdiri dari 2,6 juta orang pekerja anak, 15 ribu orang anak yang lahir di daerah transmigrasi, dan ada 2000 an anak lain yang tersebar di 18 lembaga pemasyarakatan anak.

Selain itu, ada pula anak-anak korban perdagangan orang, anak-anak yang besar di daerah konflik, anak-anak yang hidup di lokasi pelacuran, anak dengan HIV/AIDS, dan anak putus sekolah karena kemiskinan/budaya.